Selasa, 28 Juli 2009

Delapan Mata Air Kecemerlangan

Islam datang dengan 2 pesona; pesona kebenaran yang abadi dan pesona manusia muslim yang temporal. Dan pada setiap momentum sejarah di mana kedua pesona itu bertemu, Islam selalu berada di puncak kekuatan dan kejayannya. Akan tetapi, itulah masalah Islam saat ini. Ia memang tidak akan pernah kehilangan pesona kebenarannya, karena kebenarannya bersifat abadi. Namun, ia kini masih kehilangan pesona manusianya.

Buku Delapan Mata Air Kecemerlangan ini merupakan upaya Anis Matta menjawab problematika itu. Untuk menjadikan muslim sebagai pesona Islam, maka kita harus mempertemukan manusia-manusia muslim itu dengan mata air kecemerlangannya.

Mata Air Pertama: Konsep Diri

Konsep diri adalah suatu kesadaran pribadi yang utuh, kuat, jelas, dan mendalam tentang visi dan misi hidup; pilihan jalan hidup beserta prinsip dan nilai yang membentuknya; peta potensi; kapasitas dan kompetensi diri; peran yang menjadi wilayah aktualisasi dan kontribusi; serta rencana amal dan karya unggulan. Konsep Diri menciptakan perasaan terarah dalam struktur kesadaran pribadi kita. Keterarahan adalah salah satu mata air kecemerlangan.

Konsep Diri manusia Muslim adalah kesadaran yang mempertemukan antara kehendak-kehendaknya sebagai manusia; antara model manusia Muslim yang ideal dan universal dengan kapasitas dirinya yang nyata dan unik, antara nilai-nilai Islam yang komprehensif dan integral dengan keunikan-keunikan pribadinya sebagai individu; antara ruang aksi dan kreasi yang disediakan Islam dengan kemampuan pribadinya untuk beraksi dan berkreasi; dan antara idealisme Islam dengan realitas pribadinya.

Mata Air Kedua: Cahaya Pikiran

Perubahan, perbaikan, dan pengembangan kepribadian harus selalu dimulai dari pikiran kita. Sebab, tindakan, perilaku, sikap, dan kebiasaan kita sesungguhnya ditentukan oleh pikiran-pikiran yang memenuhi benak kita. Bukan hanya itu, semua emosi atau perasaan yang kita rasakan dalam jiwa kita seperti kegembiraan dan kesedihan, kemarahan dan ketenangan, juga ditentukan oleh pikiran-pikiran kita. Kita adalah apa yang kita pikirkan.

Maka, kekuatan kepribadian kita akan terbangun saat kita mulai memikirkan pikiran-pikiran kita sendiri, memikirkan cara kita berpikir, memikirkan kemampuan berpikir kita, dan memikirkan bagaimana seharusnya kita berpikir. Benih dari setiap karya-karya besar yang kita saksikan dalam sejarah, selalu terlahir pertama kali di sana: di alam pikiran kita. Itulah ruang pertama dari semua kenyataan hidup yang telah kita saksikan.

Mata Air Ketiga: kekuatan Tekad

Tekad adalah jembatan di mana pikiran-pikiran masuk dalam wilayah fisik dan menjelma menjadi tindakan. Tekad adalah energi jiwa yang memberikan kekuatan kepada pikiran untuk merubahnya menjadi tindakan.

Pikiran tidak akan pernah berujung dengan tindakan, jika ia tidak turun dalam wilayah hati, dan berubah menjadi keyakinan dan kemauan, serta kemudian membulat menjadi tekad. Begitu ia menjelma jadi tekad, maka ia memperoleh energi yang akan merangsang dan menggerakkan tubuh untuk melakukan perintah-perintah pikiran.

Bila tekad itu kuat dan membaja, maka tubuh tidak dapat, atau tidak sanggup menolak perintah-perintah pikiran tersebut. Akan tetapi, bila tekad itu tidak terlalu kuat, maka daya rangsang dan geraknya terhadap tubuh tidak akan terlalu kuat, sehingga perintah-perintah pikiran itu tidak terlalu berwibawa bagi tubuh kita.

Maka, kekuatan dan kelemahan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh sebesar apa tekadnya, yang merupakan energi jiwa dalam dirinya. Tekad yang membaja akan meloloskan setiap pikiran di sleuruh prosedur kejiwaan, dan segera merubahnya menjadi tindakan.

Mata Air Keempat: Keluhuran Sifat

Pada akhirnya semua kekuatan internal –kosep diri, pikiran dan tekad- yang telah kita bangun dalam diri kita, haruslah bermuara pada munculnya sifat-sifat keluhuran. Kecemerlangan seseorang di dalam hidup sesungguhnya berasal –salah satunya- dari mata air keluhuran budi pekertinya. Dari mata air keluhuran itu, semua nilai-nilai kemanusiaan yang mulia terjalin menjadi satu kesatuan, dan menampakkan diri dalam bentuk sifat-sifat terpuji.

Sifat-sifat itulah yang akan tampak di permukaan kepribadian kita, mewakili keseluruhan pesona kekuatan kepribadian yang kita miliki, yang sebagiannya terpendam di kedalaman dasar kepribadian kita. Kekuatan pesona sifat-sifat keluhuran itu seperti sihir, yang akan menaklukkan akal dan hati orang-orang yang ada di sekitarnya, atau yang bersentuhan dengannya secara langsung.

Setiap sifat memiliki akar tersendiri yang terhunjam dalam di kedalaman pikiran dan emosi kita. Seperti juga pohon, sifat-sifat itu tersusun sedemikian rupa di mana sebagian mereka melahirkan sebagian yang lain. Ada sejumlah sifat-sifat tertentu yang berfungsi seperti akar pada pohon, yang kemudian tumbuh berkembang menjadi batang, dahan dan ranting, daun dan buah. Demikianlah kita tahu bahwa semua sifat keluhuran berakar pada lima sifat: cinta kebenaran, kesabaran, kasih sayang, kedermawanan, dan keberanian.

Mata Air Kelima: Manajemen Aset Fundamental

Obsesi-obsesi besar, pikiran-pikiran besar, dan kemauan-kemauan besar selalu membutuhkan daya dukung yang juga sarana besarnya. Salah satunya dalam bentuk pengelolaan dua aset fundamental secara baik, yaitu kesehatan dan waktu.

Fisik adalah kendaraan jiwa dan pikiran. Perintah-perintah pikiran dan kehendak-kehendak jiwa tidak akan terlaksana dengan baik, bila fisik tidak berada dalam kondisi kesehatan yang prima. Kadang-kadang, jumlah “penumpang” yang mengendarai fisik kita melebihi kapasitasnya dan membuatnya jadi oleng. Akan tetapi, perawatan yang baik akan menciptakan keseimbangan yang rasional antara muatan dan kapasitas kendaraan.

Waktu adalah kehidupan. Setiap manusia diberikan kehidupan sebagai batas masa kerja dalam jumlah yang berbeda-beda, yang kemudian kita sebut dengan umur yang terbentang dari kelahiran hingga kematian. Tidak ada manusia yang mengetahui akhir dari batas masa kerja itu, yang kemudian kita sebut ajal. Hal itu menciptakan suasana ketidakpastian, tetapi itulah aset paling berharga yang kita miliki.

Ibarat menempuh sebuah perjalanan yang panjang, fisik kita berfungsi sebagai kereta, dan waktu yang terbentang jauh atau dekat, seperti rel kereta. Seorang masinis boleh menentukan stasiun terakhir yang kita tuju, tetapi dia harus menjamin bahwa kereta yang dikemudikannya dan rel yang akan dilewatinya benar-benar berada dalam keadaan baik.

Kesehatan dan waktu adalah dua perangkat keras kehidupan yang sangat terbatas. Akan tetapi, manusia-manusia cemerlang selalu dapat meraih sesuatu secara maksimal dari semua keterbatasan yang melingkupinya.

Mata Air Keenam: Integrasi Sosial

Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan masyarakat di mana kita berada bukan saja merupakan ukuran kematangan pribadi seseorang, tetapi lebih dari itu. Sebab, lingkungan sosial kita harus dipandang sebagai wadah kita untuk menyemai semua kebaikan yang telah kita kembangkan dalam diri.

Dengan cara pandang ini, maka setiap diri kita akan membangun hubungan sosialnya dengan semangat partisipasi: menyebarkan bunga-bunga kebaikan di taman kehidupan masyarakat kita.

Dengan semangat ini, maka semua usaha kita untuk menciptakan keharmonisan sosial menjadi niscaya. Bukan saja karena dengannya kita dapat menyebarkan kebaikan yang tersimpan dalam diri kita, tetapi juga karena kita menciptakan landasan yang kokoh untuk meraih kesuksesan, berkah kehidupan, dan kebahagiaan dalam hidup.

Jika kematangan pribadi merupakan landasan bagi kesuksesan sosial, maka kesuksesan sosial merupakan landasan bagi kesuksesan lain dalam hidup, seperti kesuksesan profesi.

Mata Air Ketujuh: Kontribusi

Kehadiran sosial kita tidak boleh berhenti pada tahap partisipasi. Harus ada langkah yang lebih jauh dari sekadar itu. Harus ada karya besar yang kita kontribusikan kepada masyarakat, yang berguna bagi kehidupan mereka; sesuatu yang akan dicatat sebagai jejak sejarah kita, dan sebagai amal unggulan yang membuat kita cukup layak mendapatkan ridha Allah SAW dan sebuah tempat terhormat dalam surga-Nya.

Kontribusi itu dapat kita berikan pada wilayah pemikiran, atau wilayah profesionalisme, atau wilayah kepemimpinan, atau wilayah finansial, atau wilayah lainnya. Namun, kontribusi apa pun yang hendak kita berikan, sebaiknya memenuhi dua syarat: memenuhi kebutuhan masyarakat kita dan dibangun dari kompetensi inti kita. Masyarakat adalah pengguna karya-karya kita, maka yang terbaik yang kita berikan kepada mereka adalah apa yang paling mereka butuhkan, dan apa yang tidak dapat dipenuhi oleh orang lain. Akan tetapi, kita tidak dapat berkarya secara maksimal di luar dari kompetensi inti kita. Karena itu, kita harus mencari titik temu diantara keudanya.

Caranya adalah sebagai berikut: buatlah peta kebutuhan kondisional masyarakat kita, dan kemudian buatlah peta potensi kita, untuk menemukan kompetensi inti diri kita. Apabila titik temu itu telah kita temukan, maka masih ada satu lagi yang harus kita lakukan; menjemput momentum sejarah untuk meledakkan potensi kita menjadi karya-karya besar yang monumental. Ini semua mengharuskan kita memiliki kesadaran yang mendalam akan tugas sejarah kita sebagai pribadi, sekaligus firasat yang tajam tentang momentum-momentum sejarah kita.

Mata Air Kedelapan: Konsistensi

Sebagai manusia beriman, kita meyakini sebuah prinsip, bahwa bagian yang paling menentukan dari seseorang adalah akhir hidupnya. Maka, persoalan paling berat yang kita hadapi sesungguhnya bukanlah mendaki gunung, tetapi bagaimana bertahan di puncak gunung itu hingga akhir hayat.

Mengukir sebuah prestasi besar dalam hidup dan mempertahankannya hingga akhir hayat, adalah dua misi dan tugas hidup yang berbeda; berbeda pada kapasitas energi jiwa yang diperlukannya, berbeda pada proses-proses psikologisnya, berbeda pula pada ukuran kesuksesannya.

Untuk dapat bertahan di puncak, kita harus menghindari jebakan-jebakan kesuksesan, seperti rasa puas yang berlebihan atau perasaan menjadi besar dengan kesuksesab yang telah kita raih. kita harus mempertahankan obsesi pada kesempurnaan pribadi, melakukan perbaikan berkesinambungan, melakukan perbaikan berkesinambungan, melakukan pertumbuhan tanpa batas akhir, dan mempertahankan semangat kerja dengan menghadirkan kerinduan abadi kepada surga dan kecemasan abadi dari neraka, serta menyempurnakan semua usaha-usaha manusiawi kita dengan berdoa kepada Allah untuk mendapatkan husnul khatimah. Semua itu agar kita menjemput takdir sejarah kita yang terhormat di bawah naungan ridha Allah SWT, dan agar kita kelak menceritakan episode panjang kepahlawanan ini kepada saudara-saudara kita di surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar